Banjir & Longsor di Sumatra: Amatan, Penyebab, dan Pelajaran Mitigasi


Bangka Belitung, 3 Desember 2025
Korban tewas akibat bencana banjir dan longsor di provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara (Sumut), dan Aceh telah mencapai 753 jiwa, sedangkan 650 orang dilaporkan hilang. Data ini disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan diliput oleh media nasional.

Menurut BMKG, cuaca ekstrem yang melanda ketiga provinsi tersebut dipicu oleh Siklon Tropis Senyar yang terbentuk pada akhir November 2025. BMKG telah mengeluarkan peringatan dini — untuk Sumut sejak delapan hari sebelum bencana, dan untuk Aceh serta Sumbar sejak empat hari sebelum kejadian. 

Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kesiapsiagaan Indonesia terhadap fenomena alam seperti siklon tropis, yang selama ini jarang dianggap sebagai ancaman utama di wilayah ekuator.

Mengapa Indonesia “Terkejut” oleh Siklon Tropis

Selama ini, wilayah Indonesia dianggap relatif aman dari lintasan siklon tropis — karena berada di sekitar garis ekuator, di mana efek gaya Coriolis (yang membantu pembentukan pusaran angin siklon) lemah. 

Namun belakangan, fenomena cuaca ekstrem yang tidak lazim mulai muncul. Menurut ahli meteorologi di IPB University, Sonni Setiawan, penyebab banjir ekstrem di Sumatra kali ini adalah siklon tropis yang terbentuk sangat dekat dengan ekuator — sebuah kejadian yang biasanya dianggap langka.


Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan pola cuaca dan atmosfer bisa membuat wilayah yang tadinya dianggap relatif aman dari siklon tropis kini rentan dampak.

Mitigasi Bencana Siklon Tropis: Apa Kata Penelitian dan Praktik Kristis

Menghadapi ancaman dampak siklon tropis — seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, longsor — strategi mitigasi sangat penting. Berikut beberapa pendekatan yang telah diidentifikasi oleh literatur dan praktisi mitigasi bencana:

• Infrastruktur & Tata Ruang Tahan Bencana

  1. Di banyak negara rawan banjir dan badai, penting untuk membangun infrastruktur tahan bencana — seperti drainase besar, tanggul, tembok penahan banjir, tanggul laut atau pantai, serta kanal pengendali air. 

  2. Penataan tata ruang dan pengawasan penggunaan lahan agar fasilitas penting (rumah, sekolah, rumah sakit, fasilitas publik) tidak dibangun di zona rawan banjir/longsor. Ini termasuk aturan pembangunan bangunan tahan air atau tahan angin, terutama di daerah pesisir atau dataran rendah. 

• Sistem Peringatan Dini & Teknologi Modern

  1. Implementasi sistem peringatan dini (early warning system) yang andal menjadi kunci — misalnya dengan sensor ketinggian air sungai, pemantauan curah hujan, dan peringatan cuaca ekstrem. Teknologi ini memungkinkan masyarakat dan pemerintah merespon lebih awal. 

  2. Pemanfaatan data besar (big data), pemetaan berbasis GIS (Geographic Information System), serta Internet of Things (IoT) untuk mendeteksi risiko banjir atau longsor lebih awal — termasuk memetakan area rawan, memantau debit sungai, dan mendeteksi potensi bahaya secara real-time. 

  3. Inovasi berbasis teknologi ini telah terbukti meningkatkan kapasitas mitigasi di banyak wilayah yang rawan bencana. 

• Mitigasi Non-Struktural: Edukasi, Kesadaran & Partisipasi Masyarakat

  1. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif: termasuk dalam pelatihan dan simulasi evakuasi, penyusunan rencana darurat komunitas, dan partisipasi dalam pembuatan rencana tanggap bencana lokal. 

  2. Penting pula menjaga lingkungan — misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan sungai dan drainase, tidak menebang pohon secara sembarangan, serta melakukan reboisasi atau penghijauan pada area rawan longsor/banjir. 

• Kolaborasi Multi-Pihak & Kebijakan yang Mendukung

  1. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitas lokal, akademisi, dan sektor swasta perlu bekerja sama: membuat perencanaan mitigasi, regulasi tata guna lahan, serta pendanaan untuk infrastruktur dan sistem peringatan. Pendekatan kolaboratif terbukti efektif dalam banyak kasus. 

  2. Integrasi mitigasi bencana ke dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan tata ruang nasional — sehingga mitigasi bukan sekadar respons ketika bencana terjadi, tapi bagian dari perencanaan pembangunan jangka panjang. 

• Adaptasi terhadap Perubahan Iklim & Variabilitas Cuaca

  1. Karena perubahan iklim global dapat memodifikasi pola cuaca sehingga daerah yang sebelumnya “aman” dari badai atau hujan ekstrem bisa menjadi rentan, maka mitigasi harus bersifat fleksibel dan adaptif terhadap skenario baru. 

  2. Pendekatan mitigasi modern memadukan tradisional dan teknologi — misalnya, penggunaan pengetahuan lokal dalam membangun rumah tahan banjir atau adaptasi lingkungan di kawasan pesisir/rentan. Studi di Bangladesh menunjukkan bahwa kombinasi “pengetahuan lokal + teknologi modern” efektif memperkuat ketahanan rumah terhadap siklon dan banjir. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak